Danau Kaco, mungkin agak jarang kita dengar bahkan ada yang belum pernah mendengarnya, padahal danau ini sangat indah dan termasuk kawasan wisata yang diminati dan membuat penasaran jika kita sudah mendengar nama dan ceritanya. Merupakan salah satu objek wisata alam yang terletak di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat yang bisa ditempuh lewat Kelurahan Lempur Mudik Kecamatan Gunung Rayo Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.
Akhir Oktober 2010, ketika jalan-jalan ke Kerinci bersama pengurus BEM FKIP Periode 2009-2010 Kabinet "Keep Moving Forward" saya mendengar nama Danau Kaco dan sepenggal ceritanya. Namun, saat itu tak punya banyak waktu untuk mengasuh mata melihatnya. Dengan secuil cerita tentang danau yang mengeluarkan cahaya di malam hari, dan jika camping disana tidak perlu membuat penerangan di waktu malam sebab Danau Kaco lah yang akan menerangi, secuil cerita itu lah yang meluapkan keinginan saya untuk mengunjungi Danau Kaco. Disadari, karena tak adanya sanak famili di Daerah Kerinci, yang membuat hal itu sulit untuk dipenuhi. Tapi sungguh keinginan besar telah tertanam untuk melihatnya secara langsung, ditambah lagi saya sangat menyukai wisata alam namun belum pernah bergabung dengan Kelompok Pencinta Alam. Meski belum bernah bergabung dengan KPA manapun, baik sekolah, kampus ataupun umum, namun tak sedikitpun mengurangi rasa cintaku terhadap alam. Dan saya sangat menyadari pentingnya hal itu untuk menambah kecintaan kita terhadap Rabb yang Maha Pencipta.
Alhamdulillah, akhirnya niatan besar itu terkabul, tepatnya tanggal 11 Pebruari 2012 dalam ragkaian liburan closing BEM KBM Universitas Jambi kabinet "Tuntas Dalam Pengabdian" start jam 9 dari tempat menginap yang berada di Kelurahan Koto Dian Pulau Tengah, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Kita menuju Desa Lempur Mudik menuju sekretariat KPA Pencagura (Pencinta Alam Gunung Raya) untuk menemui pengurus KPA yang akan memandu kami menuju Danau Kaco yang sebelumnya telah berkomunikasi lewat telepon seluler. Dari sekretariat Pencagura kami terus naik bus sampai ke tempat terakhir yang ga bisa dilewati bus lagi dan harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
|
Sekretariat Pencagura |
|
Baru Start Dari Bus
(Tuh Bus nya ada di Belakang Kita) |
Turun dari bus, kami mempersiapkan barang-barang yang dibawa, yang paling penting konsumsi friend.. He... Beberapa teman diajarkan oleh teman kami yang pernah kesana menaburkan tembakau ke kaki agar tak ada pacet yang berani menyambar kaki dan meminta sedikit rejeki darah dari kaki-kaki bersih pengunjung. Saya tak ikut menaburkan tembakau, karena sudah pakai kaos kaki, manset dan segala perlengkapan ala akhwat lainnya, hanya mengganti sepatu dengan sandal gunung yang saya pinjam dari adikku yang ketika SMA nya bergabung dengan organisasi Pencinta Alam Sekolahnya. Dan sepatu santai ala wanita kumasukkan ke dalam tas, sempat ragu sie mau membawanya karena agak menambah beban tas. Perjalanan dari bus dilanjutkan ke Benteng tempat start, dan kami akan mendapatkan pengarahan dari abang-abang pencagura disana.
Dari pemberhentian bus sampai ke benteng, kita ketemu jalan berbatu kira2 selebar 2 meter yang dilalui oleh air, air mengalir seperti sungai diatas jalan berbatu... Sudah tergambar indah suasanaya?? Sangat takjub, bagi sebagian orang tentunya sering melihat air mengalir di sungai, tapi kali ini air mengalir di jalan, air jernih dan air ini juga digunakan untuk irigasi sawah di sekitar tempat ini. Ternyata jauh juga benteng, dan kita tergopoh-gopoh lewat penanjakan dan masing-masing orang sudah dipersenjatai kayu bukan untuk menjaga diri dari kemungkinan binatang di hutan, he,,, Tapi sebagai tongkat untuk membantu kita di perjalanan, baik penanjakan, penurunan, maupun jalan becek dan kita harus lewat sebatang bambu, yang membantu keseimbangan tubuh kita adalah tongkat itu. Dari bus ke benteng saja jauh dan sudah terengah-engah, dan di benteng pula baru kita start. Sudah terbayang jauhnya....?? Jangan fikirkan jauhnya, tapi fikirkan indahnya.. Berikut adalah gambar benteng Depati Parbo, yang konon katanya merupakan Benteng Perlawanan Rakyat terhadap penjajah saat Perang Dunia II yang juga terletak dalam kawasan elurahan Lempur Mudik.
Setelah mendapatkan pengarahan, mulai masuk ke dalam hutan yang lebih lebat dari pada perjalanan pemberhentian bus-benteng, kita disambut oeh sejumlah kupu-kupu yang sangat indah seolah menyambut kedatangan tamu-tamu dari jauh ini (Kata teman-teman, saya kurang perhatian). Semakin jauh ternyata jalan yang lebarnya 2 meter dan berbatu, semakin ke hutan semakin berubah menjadi jalan setapak yang becek, basah, dan mulailah melaui halang rintang hutan. Jalan berlumpur, diletakkan kayu dan kita meniti kayu, atau lewat pinggiran untuk melewatinya. Jangan bayangkan untuk mencari jalan lain selain jalan setapak itu karena yang lainnya adalah hutan dan semak. Sambil berjalan, kebetulan saya berada pada rombongan belakang, kami berirngan dengan ketua KPA Pencagura. Sambil bercerita, banyak yang kutanyakan. Apalagi ada hal yang menarik yang dikatakan ketua pencagura ketika memberikan pengarahan. "Ini bagi yang beruntung bisa melihat. Nanti kalau ada ketemu orang lagi sendirian, jangan ditegur kecuali kalau orang ramai-ramai seperti kita". Saya langsung berkata, "Oh kirain kita harus bilang Assalamu'alaikum", "Iya, cukup Assalamu'alaikum dalam hati". Tentang Kerajaan Manjuto. Kerajaan yang sekarang masih dianggap ada disana namun tak nampak oleh kita kawan. Itu kata abang2 Pencagura. Agak syerem ya.... Jangan takut, makhluk gaib ada dimana-mana, cukup Allah tempat berlindung dan memohon pertolongan. Banyak larangan kawan, kita ga boleh ngomong lapar, karena akan ada hantu lapar. Saya bertanya lagi "Kalau lapar, jadi kita bilang apa lah?", "Bilang aja kita istirahat dulu yuk makan" jelas abang-abang itu dengan sabar. Kata orang dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, kita ikuti saja kawan yang tidak melanggar akidah tentunya. Untuk hal-hal tertentu, masuk akal karena etika kita terhadap hutan, etika, agama juga mengajarkan demikian. Cukup Bismillah saja untuk setiap sesuatu yang kita lakukan.
Sepanjang perjalanan, beberapa kali kita harus melewati aliran air seperti sungai yang melintang di jalan, tidak dalam dan hanya selebar kurang dari 1 meter. Perjalanannya tidak hanya menanjak saja, kadang datar, kadang penurunan. Saya tidak begitu ingat berapa banyak jumlah penanjakan. Yang jelas setiap kita hampir sampai di shelter (tempat istirahat/perlindungan), sebelum it lewat penanjakan dulu.
Bersambung......